Tragedi Cebongan (23/3/2013) sudah dua minggu lebih berlalu, namun hingga sekarang wacana perihal Cebongan tetap ramai diperbincangkan media. Peristiwa yang dikenal sebagai operasi ninja tersebut menyita banyak perhatian publik, lantaran proses kejadiannya serat kejanggalan. Sangat rapi, tepat mengenai sasaran yang dituju. Dan aksinya pun terkesan dijalankan secara kerjasama antara pihak LP Cebongan setempat dengan pelaku penyerangan, Kopassus.
Baca Juga :
Kronologis penyerangan LP Cebongan berawal ketika 11 anggota Kopassus memaksa masuk ke dalam sel, dan mengeksekusi empat penghuni tahanan dengan cara ditembak. Keempatnya yakni Dicky Sahetapi alias Dicky Ambon, Dedi, Ali, dan YD alias Johan. Sebagaimana diberitakan media, empat orang tahanan yang menjadi sasaran operasi ninja tadi merupakan pelaku pembunuhan Sertu Santoso, anggota Grup 2 Komando Pasukan Khusus (Kopassus), Kandang Menjangan, Kartasura, Jawa Tengah, yang tewas akibat penusukan di Hugo’s Cafe, Sleman, pada 19 Maret.
Banyak kalangan menilai peristiwa di Cebongan, Sleman ini merupakan peristiwa penuh tanda tanya besar. Bukan saja karena kronologi yang begitu misteri, namun juga perihal status korban yang pada saat kejadian berada dalam ruang tahanan. Logika sehatnya, sebagai tahanan sel mestinya mereka memiliki perlindungan dan penjagaan. Kejanggalannya semakin terungkap ketika tidak satu pun korban berasal dari pihak luar. Entah itu polisi, sipir, atau penjaga lainnya.
Terlepas dari spekulasi di atas, penulis tidak ingin terlampau jauh masuk ke wilayah itu. Karena bagi penulis pribadi, hal demikian terlalu sulit dimasuki. Terlebih kita ketahui bersama, konspirasi skandal dan kasus di negeri ini sangat mudah terjadi. Karenanya, mencari jawaban atas spekulasi yang betul-betul orisinil tidaklah mudah. Kalaupun ada itu masih terperangkap dalam katagori abu-abu.
Meski demikian, dalam peristiwa Cebongan ini, penulis menemukan satu bagian realitas yang mengundang wacana menarik untuk dianalisis dan didiskusikan. Yakni perihal populernya penggunaan istilah hukum rimba dalam menggambarkan realitas sosial negeri kita. Dari mana asal usul istilah itu penulis sendiri sampai sekarang masih belum tahu, hanya saja sedikit banyak penulis paham bahwa hukum rimba merupakan representasi atas fenomena dimana pola hidup tidak lagi diikat oleh nilai dan norma sosial yang kuat, hukum seakan menjadi satu permainan (power is language game) kelompok penguasa.
Negeri ini negeri rimba
Di negara yang (katanya) demokratis ini istilah hukum rimba nampak kental sekali mengidentitas. Dalam hukum rimba, posisi negara biasa diidentikkan dengan hutan. Kehidupan di dalamnya sangat buas dan kejam, saling memangsa antara yang satu dan yang lainnya. Dunia rimba tidak mengenal istilah rukun dan damai. Kalapun ada itu hanya sebatas topeng belaka, dibaliknya ada maksud terselubung yang sulit dicerna pihak lawan. Karenanya, dalam dunia rimba hukum hanyalah persoalan “silat lidah†dan adu kekuatan. Siapa yang kuat dialah penguasa, dan yang lemah siap-siaplah menjadi mangsa. Model hukum demikian memunculkan istilah “tidak ada kawan atau lawan abadi, yang ada hanya kepentingan abadiâ€. Bahkan kongkalikong di dalamnya telah menciptakan budaya khas, seakan terikat dalam satu perangkat sistem yang siap menerkam siapa pun yang singgah di lingkungan kekuasaannya.
Hukum dunia rimba yang terlampau ekstrim dan akut membuat gelisah para penghuninya. Bagaikan berada di tengah semak belukar pedalaman hutan, keselamatan menjadi satu bahan taruhan yang sulit didapat. Tidak ada norma, tidak ada nilai. Sosio kultur mereka dibentuk berdasarkan kekuatan dan kekuasaan. Norma sebagai cerminan berperilaku berubah arah, tereduksi pada apa yang disebut rasionalisasi dan instrumental belaka. Akibatnya, etika bukan merupakan satu bagian kaidah yang mendapat banyak perhatian. Semua lebih tertuju pada estetika, kepuasan diri berdasarkan nafsu bejat dan penggunaan rasio yang berlebihan.
Posisi kekuatan dan kekuasaan dalam dunia rimba betul-betul mengakar, menyusupi sendi-sendi sosial hingga menyentuh pada yang asas sekalipun. Kondisi ini mengakibatkan struktur dan sistem sosial dibuat tak berkutik, tunduk di bawah intervensi dan dominasi kaum borjuis kapital. Alienasi sebagai bentuk keterasingan kaum pribumi dari hak kepemilikan pribadi menjadi satu realitas yang tak bisa disangkal. Persoalan pun kian tambah akut ketikan peradilan dipasung dan dihadapkan pada kepentingan sepihak.
Kekuasaan sebagai kekuatan mutlak
Leluasanya kekuasaan untuk mengintervensi dan menekan satu kelas sosial kian menunjukkan atas realitas hukum rimba dinegeri kita. Bahasa Thomas Hobbes tentang manusia sebagai Srigala bagi yang lain (Homo Homini Lupus) kian menjadi nyata. Asumsi ini setidaknya bisa didasarkan pada kondisi negeri kita yang kian hari kian digoncang pergolakan dan pertentangan sosial. Bukan saja berkutat pada lingkup bawahan, melainkan kian akut lantaran melibatkan struktural kenegaraan. Dan persoalannya pun semakin pelik ketika melibatkan anggota pejabat yang kebetulan memiliki dominasi kuat sekaligus wewenang berlipat.
Apa yang dikatakan Michel Foucault tentang kekuasaan sebagai bahasa permainan betul-betul tengah melanda bangsa kita. kekuasaan adalah kekuatan mutlak yang berpeluang besar memanipulasi realitas. Melalui kekuasaan suatu yang sudah nampak jelas bisa dipelintirkan. Bahkan hukum pun bisa dibuat timpang. Karenanya, dalam dunia rimba. Kekuasaan merupakan satu legitimasi absolut yang wajib dimiliki. Sekalipun itu harus bertentangan dengan norma, nilai, dan sistem yang berlaku di lingkungan masyarakat.
Dalam hal kekuasaan, politisasi multi sektor turut juga menjadi perhatian tersendiri. Terlebih atara politik dan kekuasaan merupakan satu varibel terikat, saling mempengaruhi antar satu sama lain. Lumrahnaya, politisasi kerapkali dijadikan media mencapai tampuk kekuasaan. Tanpa melalui politisasi, maka kekuasaan hanya akan sebatas pada status dan tidak memiliki ruang lebih untuk diterapkan. Karenanya, dalam dunia rimba politisasi multi aspek menjadi satu bentuk karakter yang mengakar kuat. Entah itu menyentuh aspek eksekutif, legislatif, atau yudikatif sekalipun. Misal, lembaga hukum, peradilan, hingga kejaksaan. Dan ketika politisasi menyusupi segala sektor pemerintahan, maka dari situlah hukum rimba muncul.
Dan jika mau jujur, sebenaranya fenomena hukum rimba diatas tengah berlaku dinegeri kita, Indonesia. Betapa tidak? Ketika HAM dipermainkan, keselamatan kian mahal, timpangnya supremasi hukum, dan lemahnya lembaga peradilan, maka semakin jelaslah bahwa selama ini kita terjebak pada satu realitas hidup yang rentan dengan kekacauan. Politisasi menyebar dimana-mana. Bahkan lembaga peradilan yang sejatinya harus independent tidak dibuat berkutik, lantaran tercengkram oleh kekuatan kelompok penguasa. Diintervensi, dipermainkan, dipelintirkan, bahkan dijadikan ajang transaksi (mafia hukum).
Meski negeri ini adalah negeri demokratis, namun sayangnya demokratis negeri kita tidak dibarengi oleh sistem yang kuat. Hukum tidak lagi berbasis keadilan, melainkan uang dan kekuasaan. Siapa mereka yang memiliki modal lebih kuat, maka disitulah hukum dan keadilan berlaku, tapi bagi kaum lemah hukum adalah ujung pisau yang menakutkan, dan satu produk negeri yang terlampau ‘mahal’ mereka dapatkan. Sampai disini, lantas apa bedanya hutan rimba dengan realitas negeri kita?
Abd Hannan
Anggota Tim Riset Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Trunojoyo Madura
Komentar