JAKARTA — Pernyataan sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) atas kontroversi pemberian grasi bagi terpidana mati kasus narkotika Meirika Franola (Ola) tak otomatis menghapus kontroversi proses pemberian grasi tersebut. Bahkan, penjelasan SBY itu justru lebih menguak ketidakwajaran proses terbitnya grasi Ola.
“Jika Presiden menyatakan tidak ingin menyalahkan siapa-siapa, sikap demikian tidak bijaksana, dan tidak menyelesaikan masalah. Publik akan beranggapan Presiden menutup-nutupi perilaku menyimpang yang dilakukan para pembantu terdekatnya,” papar politisi partai Golkar, Bambang Soesatyo dalam rilis yang diterima Rakyat Merdeka Online (Minggu, 11/11).
Kata pria bersapaan Bamsoet ini, kalau benar Ola hanya kurir, berarti terjadi kesalahan dakwaan yang menyebabkan dia divonis hukuman mati. Logikanya, para penasihat hukum Presiden cukup menyarankan pihak Ola untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) perkaranya di Mahkamah Agung (MA).
Sebab, menurut Bamsoet, mengajukan permohonan grasi dengan alasan Ola hanya kurir menjadi tidak relevan lagi sebagai pertimbangan yang direkomendasikan kepada presiden.
“Di situlah kontroversinya. Apalagi, MA dalam rekomendasinya kepada Presiden sudah menyatakan pendiriannya bahwa permohonan grasi Ola tidak memiliki cukup alasan untuk dikabulkan. Pertanyaannya, darimana atau dari siapa para pembantu presiden menerima informasi bahwa Ola itu sekadar kurir?,” tanya Bamsoet.
“Lalu siapa juga yang membisik ke Presiden bahwa Ola itu bukan pengedar atau bandar, sehingga terpidana mati itu layak mendapatkan grasi? Dalam merumuskan rekomendasinya kepada SBY, mengapa para pembantu presiden tidak mengacu pada vonis pengadilan negeri Tangerang yang diperkuat Pengadilan Tinggi Bandung dan Kasasi MA?,” imbuhnya.
Tentu saja akan menjadi kontroversi jika rekomendasi para pembantu Presiden lebih mengacu pada bisikan informasi yang entah dari siapa datangnya dan sudah pasti tidak memiliki kekuatan hukum untuk dipertimbangkan, demikian anggota komisi hukum DPR ini.(rmol)
Komentar