BANDA ACEH – Ketua Komunitas Anak Saleh (KAS) dan Wakil Sekretaris Pemuda Dewan Da’wah Aceh (PDDA), Riri Isthafa Najmi menyampaikan beberapa gagasan terkait penanggulangan dan upaya pencegahan maraknya praktik prostitusi, baik lokalisasi maupun online yang melibatkan Pemuda dan Pemudi Aceh beberapa waktu lalu. Di tengah upaya Pemerintah untuk menutup lokalisasi dan memberantas prostitusi, justru terungkap makin maraknya praktik prostitusi online terselubung tersebut.
“Kita sangat prihatin dengan kondisi maraknya prostitusi online yang melibatkan pemuda dan pemudi Aceh,” kata Najmi, kepada media, kemarin.
Kaum hawa yang terjerumus dalam bisnis prostitusi umumnya terjebak antara perbudakan ekonomi dan emosi serta bekerja di bawah kondisi yang sama sekali seperti budak pemuas nafsu laki-laki mata keranjang dan hidung belang. Memang, bicara masalah keuntungan dan penghasilan yang ditawarkan, bisnis prostitusi ini sangat menguntungkan, sehingga praktik penyimpangan tersebut seolah tidak pernah bisa diberantas hingga tuntas.
“Kita tentu menyadari bahwa tindak asusila dan amoral seperti ini bisa saja terjadi kapan pun dan dimana pun. Kemaksiatan dan kriminalitas seperti ini tidak terjadi secara marak kalau pintu-pintunya telah ditutup rapat,” ungkap pemuda Banda Aceh ini.
Setidaknya menurut Najmi, ada lima gagasan yang semestinya diterapkan untuk mengatasi maraknya prostitusi baik lokalisasi maupun online. Bila jalur-jalur ini dilaksanakan oleh Pemerintah dan masyarakat Aceh secara simultan, bukan hanya parsial dan setengah-setengah, maka semua faktor yang mendorong terjadinya prostitusi ini bisa dieliminasi bahkan dihilangkan.
“Menurut pandangan saya, hal yang paling mendasar adalah penyediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat Aceh. Berarti adanya kemudahan masyarakat untuk pekerjaan yang layak dan mampu mencukupi kebutuhan diri dan keluarga yang ada dalam tanggungannya,” ujar Najmi.
[NEXT]
Sebenarnya sudah kewajiban negara memberi kemudahan permodalan dan lapangan kerja bagi yang membutuhkan. Iklim usaha kondusif juga diperlukan.
Kaum perempuan semestinya tidak menjadi pencari nafkah utama bagi keluarganya. Lain halnya dengan saat ini dimana lapangan kerja terbatas dan pemenuhan kebutuhan diri dan keluarga menjadi masalah besar di tengah masyarakat.
“Edukasi yang sejalan dengan norma, etika, dan agama perlu diterapkan. Pendidikan agama juga menanamkan nilai dasar pembinaan spiritual yang bisa membedakan benar dan salah, serta mengetahui standar-standar hidup yang boleh diambil atau tidak,” katanya.
Menurutnya, alasan Wanita Tuna Susila (WTS) yang kembali ke tempat prostitusi setelah mendapat pembinaan ketrampilan karena lebih sulit mendapatkan uang dari hasil menjahit atau berniaga dibanding melacur. Hal itu tidak akan terjadi bila ada penanaman kuat tentang dasar dan standar agama dengan bisa membedakan benar dan salah.
“Pembinaan masyarakat untuk membentuk keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan penyelesaian dari permasalahan jalur sosial yang juga harus menjadi perhatian Pemerintah Aceh,” katanya. (*/B)
Komentar