MAKASSAR – Entah siapa yang harus disalahkan, warga yang puluhan tahun tinggal beranak cucu di rumah huniannya ataukah prajurit TNI. Mereka yang sama sekali tak tahu-menahu persoalan, tentu akan miris menyaksikan pemandangan penggusuran paksa ratusan rumah Kepala Keluarga (KK) yang tinggal di Asrama Barabaraya Jalan Jalahong Dg. Matutu, Kelurahan Barabaraya, Kecamatan Makassar, Kota Makassar, Rabu, (13/12/2016).
Bagaimana tidak miris menyaksikan aksi penggusuran warga, sebab ratusan prajurit Kodam VII Wirabuana yang diturunkan untuk ‘memporak-porandakan’ rumah warga di Asrama Barabaraya itu seperti tanpa kompromi lagi. Perintah pengosongan rumah yang memasuki hari kedua ini, nampaknya prajurit sudah bersikap tegas bahwa asrama tersebut harus dikosongkan.
Maka tak ayal lagi, rumah-rumah warga, baik yang permanen maupun semi-permanen dalam sekejab sudah rata dengan tanah. Bangunan-bangunan kokoh itu dengan cepat diratakan oleh alat-alat berat yang memang sengaja dibawa ke lokasi, semisal buldozer, eskavator dan lainnya.
Warga pemilik rumah yang diratakan dengan tanah terhenyak. Mereka menatap sedih bangunan rumah yang mereka bangun dengan susah-payah, dalam hitungan sekejab saja, akhirnya sudah porak-poranda.
Di hari kedua perintah pengosongan rumah di Asrama Barabaraya ini boleh jadi ratusan prajurit yang diturunkan sudah diinstruksikan untuk meratakan semua bangunan tanpa kompromi. Para prajurit sudah berada di lokasi sejak pukul 03.00 Wita dini hari. Dan begitu usai sholat subuh sekira pukul 05.00 Wita, alat-alat berat mulai menderu, mmembongkar bangunan-bangunan yang masih berdiri kokoh di tempatnya.
Meskipun bangunan rumah mereka sudah dirobohkan, tapi masih ada saja warga yang memilih bertahan di lokasi tersebut. Mereka membuat tenda-tenda layaknya berkemah, sekedar untuk tempat beristirahat sejenak.
Di lokasi itu juga, para pedagang kayu sepertinya memanfaatkan situasi. Para pedagang mencari pemilik rumah yang dibongkar itu, sekedar ingin menawar balok-balok dan kayu yang menjadi rangka rumah yang sudah terbongkar.
“Terpaksa kami menjual balok rumah kami yang telah di bongkar. Kami ingin mengunakannya, tapi tidak ada lahan kosong untuk bisa kami bangun. Adapun uang puluhan juta yang ditawarkan pihak TNI, kami tak ingin mengambilnya. Kami hanya menunggu putusan Pengadilan Negeri,” kata salah seorang warga setempat.
Sementara itu, Babinsa Wilayah Barabaraya, Serda Awal mengatakan, pengosongan hunian Asrama Barabaraya tidak berdasarkan dengan paksaan. Namun pengosongan dilakukan berdasarkan kesepakatan warga itu sendiri.
“Sebelumnya kami tiga kali melakukan upaya persuasif kepada warga, baik secara lisan maupun tulisan berupa surat penyampaian pengosongan rumah. Mereka juga yang paham soal status lahan yang dihuninya itu, sudah terlebih dulu pindah,” ujar Serda Awal.
Dia menegaskan, pengosongan rumah-rumah warga yang dilakukan prajurit tidak secara paksa. Mereka juga diberi uang ganti rugi, bahkan nilainya dianggap cukup untuk mencari tempat tinggal yang baru, dengan nominal yang bervariasi antara Rp22,5 juta hingga Rp30 juta per Kepala Keluarga (KK).
“Sudah 95 persen kami kosongkan, 5 persen itu hanya tenda-tenda dan sisa rangka kayu milik warga. Sebagian barang warga telah kami angkut dihunian yang ia tinggali,” pungkasnya. (*)
Komentar