MALINO – Menjelang berakhirnya cuti bersama, Selasa. (19/6/2018) sebagian besar orang-orang memilih menghabiskan masa liburan di tempat-tempat wisata. Salah satu destinasi wisata pilihan yang menjadi sasaran kunjungan di masa akhir liburan panjang adalah Kota Bunga, Malino, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan.
Penulis pun memanfaatkan akhir masa liburan dengan berkunjung ke Kota Bunga, Malino selama 2 (dua) hari, 19-20 Juni 2018. Sebutan sebagai “Kota Bunga” ini merupakan predikat yang coba gaungkan oleh Pemerintah Kabupaten Gowa agar Malino juga dapat dikenal sebagai salah satu destinasi tanaman hias (kembang).
Hal itu lumrah, sebab hampir di sepanjang pinggir jalan poros, pohon-pohon tinggi menarik pandangan mata dengan warna-warni bunganya. Bahkan, penduduk setempat pun ikut mengembangkan aneka jenis bunga, yang dapat dibeli oleh para pengunjung yang datang ke obyek wisata tersebut.
Baca Juga :
Malino adalah kelurahan yang terletak di Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Daerah yang terletak 90 km dari Kota Makassar ke arah selatan ini merupakan salah satu objek wisata alam yang mempunyai daya tarik luar biasa. Di kawasan wisata Malino sendiri, terdapat hutan wisata, berupa pohon pinus yang tinggi berjejer diantara bukit dan lembah.
[NEXT]
Jalan menanjak dan berkelok-kelok dengan melintasi deretan pegunungan dan lembah yang indah bak lukisan alam, menjadi pemandangan alam yang menakjubkan yang akan mengantarkan para pengunjung hingga sampai ke pusat kota Malino. Kawasan tersebut terkenal sebagai kawasan rekreasi dan wisata sejak zaman penjajahan Belanda.
Malino memiliki gunung-gunung yang sangat kaya dengan pemandangan batu gamping dan pinus. Berbagai jenis tanaman tropis yang indah, tumbuh dan berkembang di kota yang dingin ini. Selain itu, Malino pun menghasilkan buah-buahan dan sayuran khas yang tumbuh di lereng gunung Bawakaraeng.
Sebagian masyarakat Sulawesi Selatan masih mengkulturkan gunung itu sebagai tempat suci dan keramat. Suhu di kota Malino ini mulai dari 10 °C sampai 26 °C. Dan ketika hujan, harus berhati hati saat sedang berkendara, karena kota ini sering berkabut dan jarak pandangnya 100 meter saja.
Perjalanan dari Kota Makassar, ibukota Provinsi Sulawesi Selatan menuju daerah ini memakan waktu sekitar 2 jam. Wisata hutan pinus, air terjun seribu tangga, air terjun Takapala, Kebun Teh Nittoh, Lembah Biru, bungker (goa) peninggalan Jepang, Balla Lompoa di Bulutana dan Gunung Bawakaraeng menjadi ciri khas kota Malino. Oleh oleh khas daerah ini adalah buah markisa, dodol ketan, tenteng Malino, apel, wajik dan lainnya.
Selain sebagai sentra sayur-sayuran dan buah markisa serta strawberry, Malino juga menjadi daerah penghasil beras bagi wilayah Sulawesi Selatan. Sebelum memasuki kota Malino, terdapat sebuah tembok prasasti di pinggir jalan dengan tulisan “MALINO 1927”. Tulisan tersebut cukup jelas dan seketika itu pula dapat dibaca setiap orang yang melintas di daerah itu.
Malino 1927 bukan berarti Malino baru dikuasai Belanda pada tahun itu. Jauh sebelumnya, Belanda sudah berkuasa di wilayah Kerajaan Gowa, terutama setelah pasca Perjanjian Bungaya 18 November 1667.
[NEXT]
Sejak zaman kerajaan, Malino atau Laparrak hanya terdiri dari hutan belantara, di dalam wilayahnya terdapat beberapa anak sungai yang semuanya bermuara pada Sungai Jeneberang. Ada tempat wisata yang sejuk di Buluttana, seperti air terjun, juga dibangun tiga rumah adat, yakni rumah adat Balla Jambua, Balla Tinggia dan Balla Lompoa. Di tempat itu kondisi hawanya dingin dan sejuk dan sering dijadikan sebagai tempat wisata.
Sebelum muncul nama Malino, dulu rakyat setempat mengenalnya dengan nama kampung ‘Lapparak’. Lapprak dalam bahasa Makassar berarti datar, yang berarti pula hanya di tempat itulah yang merupakan daerah datar, diantara gunung-gunung yang berdiri kokoh.
Kota Malino ini mulai dikenal dan semakin popular sejak zaman penjajahan Belanda, lebih-lebih setelah Gubernur Jenderal Caron pada tahun 1927 memerintah di “Celebes on Onderhorighodon” telah menjadikan Malino pada tahun 1927 sebagai tempat peristirahatan bagi para pegawai pemerintah.
Selama dua hari di obyek wisata ini, penulis melihat animo masyarakat untuk berlibur di Malino cukup tinggi. Terbukti, meskipun hujan mengguyur Malino sepanjang hari, Selasa, (19/6/2018), orang-orang tetap ramai berdatangan. Mereka memenuhi warung-warung di pinggir-pinggir jalan sambil menunggu hujan reda, sambil menikmati pemandangan hutan alam yang terbentang luas di ujung mata. (*)
Komentar