JAKARTA– Utang Pemerintah Republik Indonesia kian terus melonjak. Saat ini utang tersebut mencapai lebih dari Rp6.000 triliun.
Kendati begitu, jumlah utang dan bunganya yang terus bertambah, membuat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengkhawatirkan penurunan kemampuan pemerintah untuk membayarnya.
Baca Juga :
Staf Khusus Menteri Keuangan (Menkeu) Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, mengatakan bahwa pemerintah sepakat untuk terus waspada dan mengajak semua pihak bekerja sama dalam mendukung pengelolaan pembiayaan negara.
Menurutnya, pemerintah selalu berhati-hati dalam setiap kebijakan, termasuk persoalan utang negara.
“Pemerintah senantiasa mengelola pembiayaan secara hati-hati, kredibel, dan terukur, termasuk dalam beberapa tahun terakhir ini ketika terjadi perlambatan ekonomi global. APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) berfungsi sebagai instrumen kebijakan countercyclical dengan pembiayaan sebagai alat untuk menjaga ekonomi,” kata Yustinus kepada awak media, dikutip dari Liputan6.com pada Kamis (24/6/2021).
Sejalan dengan itu, kata dia, pemerintah juga meningkatkan upaya reformasi perpajakan untuk optimalisasi pendapatan negara.
Yustinus menyebut, Kemenkeu mengapresiasi kerja keras BPK dalam melaksanakan audit dan memberi opini WTP untuk Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020, serta memberi rekomendasi bagi pengelolaan pembiayaan.
Hal ini, menurutnya, menunjukkan pemerintah selalu menjaga akuntabilitas dan tata kelola keuangan negara, bahkan di masa pandemi.
Kemenkeu selama pandemi Covid-19 terus menegaskan bahwa keputusan yang diambil pemerintah merupakan kebijakan countercyclical untuk memberi stimulus dalam menjaga ekonominya, yang berimplikasi ke pelebaran defisit.
Dijelaskannya lagi, International Monetary Fund (IMF) sendiri sudah memberikan standar aman untuk rasio utang di kisaran 25-30 persen per Produk Domestik Bruto (PDB) pada kondisi normal.
Dalam kondisi pandemi Covid-19 saat ini, hampir tidak ada negara rasio utang di kisaran itu. “Misalnya saja di akhir tahun 2020, Indonesia 38,5 persen, Filipina 48,9 persen, Thailand 50,4 persen, China 61,7 persen, Korea Selatan 48,4 persen, dan Amerika Serikat 131,2 persen,” ungkap Yustinus. (*)
Komentar