JAKARTA — Anggota DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Irjen Pol (Purn) Drs. Frederik Kalalembang, menyoroti pentingnya koordinasi, komunikasi, dan batasan kewenangan dalam pelaksanaan penangkapan terhadap pelaku tindak pidana di wilayah sipil.
Hal ini disampaikan Frederik menanggapi pengungkapan kasus sindikat penipuan online di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, di mana jajaran Kodam XIV/Hasanuddin melakukan penangkapan terhadap 40 orang yang diduga terlibat dalam praktik penipuan.
Dalam kasus tersebut, para pelaku menjalankan modus dengan mencatut nama pejabat Kodam XIV/Hasanuddin, berpura-pura menjadi anggota TNI berpangkat Letkol, dan menawarkan berbagai layanan fiktif kepada masyarakat, termasuk keluarga besar TNI. Melalui aksinya, sindikat ini meraup keuntungan hingga Rp150 juta per bulan.
Baca Juga :
Frederik mengingatkan bahwa dalam sistem hukum nasional, penangkapan harus dilakukan sesuai prosedur hukum yang berlaku. Berdasarkan Pasal 1 angka 19 KUHAP, penangkapan oleh pihak selain aparat penegak hukum hanya sah apabila dalam kondisi tertangkap tangan, yaitu saat seseorang sedang melakukan tindak pidana, segera sesudahnya, atau sesaat setelah diserukan oleh khalayak ramai sebagai pelaku tindak pidana.
“Kita harus saling menghormati etika hukum. Siapapun memang bisa melakukan penangkapan apabila ada kejadian tertangkap tangan. Tapi dalam proses selanjutnya, penting adanya koordinasi dengan Polri yang diberikan amanah oleh undang-undang untuk melakukan penegakan hukum,” ujar Frederik, Minggu (27/4/2025).

Konferensi pers yang dilaksanakan Kodam XIV/Hasanuddin terkait penangkalan 40 terduga jaringan penipuan asal Sidrap
Frederik menyoroti bahwa dalam kasus Sidrap, tindakan penangkapan yang dilakukan oleh TNI bukan dalam keadaan tertangkap tangan, sehingga menimbulkan pertanyaan terkait dasar kewenangan hukum yang digunakan.
Ia juga mengingatkan bahwa revisi Undang-Undang no 34 tahun 2004 menjadi Undang-Undang TNI Nomor 3 Tahun 2025, yang mengatur tugas dan kewenangan di beberapa Kementerian Lembaga tetapi bukan dalam penegakan hukum sipil apalagi masih dalam sosialisasi. Ini ditegaskan mengingat Frederik Kalalembang salah satu anggota DPR RI yang juga ikut memiliki andil dan peran dalam terbentuknya revisi undang-undang tersebut.
“Kalau tidak kita luruskan dan benahi bersama, penegakan hukum bisa carut-marut. Nantinya siapapun merasa berhak melakukan penangkapan, termasuk masyarakat sipil, tanpa prosedur hukum yang jelas,” tegas Frederik Kallembang.
Frederik menambahkan bahwa meskipun Polri memiliki berbagai kekurangan dalam pelaksanaan tugasnya, hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk mengabaikan prosedur hukum dan mengambil alih tugas institusi lain secara sepihak.
“Kita tahu ada kekurangan dalam upaya Polri selama ini, tapi itu tidak bisa dijadikan alasan untuk mengabaikan prosedur hukum. Tanpa koordinasi dan komunikasi yang baik, kekacauan penegakan hukum bisa terjadi,” lanjutnya.
Frederik berharap peristiwa ini menjadi pembelajaran penting bagi semua pihak, khususnya aparat keamanan, untuk selalu menjunjung tinggi prinsip hukum, memperkuat sinergi antar lembaga, dan menjaga profesionalisme dalam pelaksanaan tugas.
“Mari kita jadikan ini contoh pentingnya koordinasi dan komunikasi yang baik antar institusi penegak hukum, agar bisa menjadi teladan bagi masyarakat,” pungkas Frederik.(*)
Komentar