JAKARTA – Mantan anggota DPR Dewie Yasin Limpo menuding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK tidak manusiawi. Sebab, ia merasa tidak terlibat dalam kasus suap proyek pembangunan pembangkit listrik di Kabupaten Deiyai, Provinsi Papua.
Dikutip dari Metrotvnews.com, JPU KPK menuntut Dewie bersama dengan staf ahlinya Bambang Wahyuhadi 9 tahun penjara dan pencabutan hak politik selama 12 tahun karena dinilai menerima suap sebesar SGD 177.700 (sekitar Rp1,7 miliar) agar mengupayakan anggaran pembangunan pembangkit listrik di Kabupaten Deiyai Provinsi Papua.
“Saya sangat keberatan dengan tuntutan jaksa yang menyatakan saya menerima uang pengawalan. Tuntutan sembilan tahun penjara sangat tidak manusiawi,” kata Dewi di ruang sidang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jalan Bungur Raya, Jakarta Pusat, Senin (30/5/2016).
Baca Juga :
Ia mengaku mengindap tumor selaput otak, batu ginjal, dan gangguan saluran kemih. Sejak terseret dalam kasus tersebut, Dewi mengaku penyakitnya kerap kambuh.
Bahkan, ia harus bolak-balik untuk berobat ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD). Politikus Partai Hanura itu harus segera melakukan gamma knife untuk menghambat berkembangnya tumor selaput otak.
“Kondisi saya semakin lama semakin menurun, tetapi jaksa menyatakan kalau saya sehat. Lalu, tuntutan saya paling tinggi dibandingkan tersangka korupsi lainnya,” kata Dewi.
Ia membandingkan dirinya dengan Nazarudin yang hanya dituntut tujuh tahun penjara. Padahal, Politisi Demokrat itu telah merugikan negara sekitar Rp 600 miliar.
“Contoh lainnya, Rio Capella yang jelas menerima uang, hanya divonis 1,5 tahun. Lalu Rienaldi Bandaso yang jelas-jelas tertangkap tangan hanya divonis empat tahun penjara,” kata Dewi.
Dewi tidak akan menyatakan penyesalan dalam persidangan. Ia yakin tidak terlibat dalam kasus suap dan hanya korban.
Penyuapan bermula ketika Kepala Dinas ESDM Deiyai Irenius Adi dan Direktur PT Abdi Bumi Cenderawasih Setyadi mendatangi Dewie supaya proyek pembangunan listrik di Kabupaten Deiyai dimasukan ke APBN 2016 di Kementerian ESDM. Dewie menyanggupi dan meminta bantuan orang lain.
Anggota Komisi VII DPR itu meminta bantuan anggota Badan Anggaran Bambang Hariyadi agar mengupayakan alokasi anggaran pembangunan listrik di Deiyai. Dewie dan Hadi juga kerap melakukan pertemuan dengan Irenius dan Setyadi. Dalam pertemuan, Irenius kerap menanyakan perkembangan alokasi anggaran pembangunan listrik, sedangkan Dewie meminta uang.
Keduanya dinyatakan aktif melakukan pertemuan dengan Irenius dan Setyadi. Dewi juga disebut meminta fee melalui Rienalda Bandaso, asisten pribadi Dewi sebesar tujuh persen dari Rp50 miliar.
Tak hanya itu, supaya proyek masuk anggaran, Dewie juga menemui Dirjen Energi Baru Terbarukan Kementerian ESDM Rida Mulyana. Politikus Partai Hanura itu menanyakan perkembangan masuknya alokasi anggaran pembangunan listrik di APBN 2016. Dari rangkaian perbuatan itu, Dewi dan Hadi menerima uang sejumlah SGD 177.700.
Atas perbuatannya, mereka dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf a dan Pasal 13 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana. (*)
Komentar