MAKASSAR – Penggunaan air bersih yang digunakan warga Kota Makassar kini menjadi persoalan, lantaran defisit air tawar yang menjadi ancaman baru akibat pemanasan global serta perubahan iklim.
Itu diungkapkan Darwin Fatir, selaku ketua panitia diskusi yang membahas terkait permasalahan air di Kota Makassar. Diskusi ini digelar di MR Coffee di kompleks Pertokoan Boulevard, Kecamatan Panakkukang, Sabtu (11/06/2016).
Komunitas yang mengatasnamakan “Komunitas Jurnalis Pemerhati Masalah Lingkungan “(the Society of Indonesian Environmental Journalists/SIEJ) Simpul Sulawesi Selatan, mengusung diskusi terkait permasalahan air bersih di Kota Makassar.
Baca Juga :
Menurut Darwin Fatir, krisis air bersih tengah mengancam peradaban manusia, tak terkecuali di Kota Makassar. Menurutnya, ke depan defisit air tawar menjadi ancaman baru.
“Ini akibat pemanasan global dalam perubahan iklim membuat ketersediaan air dunia kian menyusut. Akibatnya, kebutuhan sekarang dan masa datang akan lebih sulit karena masyarakat membutuhkan pangan yang jumlahnya dua kali produksi pangan saat ini,” jelasnya.
Dikatakannya, kebutuhan air yang makin meningkat setiap tahun di tengah krisis lingkungan yang kian massif, patut mendapat perhatian dari pemerintah dan para pihak terkait.
Kendati demikian, pihaknya mencermati fenomena itu di lapangan, maka SIEJ sebagai wadah jurnalis yang peduli dengan persoalan lingkungan mengundang para pihak untuk bertukar pikiran dan memberi masukan bagi pengambil kebijakan, dalam diskusi yang digelarnya ini.
Sama halnya yang dijelaskan Al Amin. Kepala Departemen dan Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulsel ini mengaku pihaknya tengah mencatat kebutuhan air bersih warga Kota Makassar rata-rata 150 liter/kapita/hari.
Sementara kebutuhan air bersih yang diproduksi PDAM Makassar sejak dulu hingga kini hanya mengandalkan air Bendungan Lekopancing di Kabupaten Maros dan bendungan Bili-Bili di Kabupaten Gowa.
“Sekaitan dengan hal tersebut maka warga Makassar sangat tergantung dari suplai air dua daerah penyangga tersebut yang nota bene juga tergantung dari kualitas lingkungan di Maros dan Pangkep,” katanya.
Sementara itu, Nur Asiah, dari SP Anging Mammiri mengatakan, dari hasil survei lembaganya di wilayah yang krisis air bersih yakni di Kecamatan Tallo, dan Ujung Tanah, disadari atau tidak, maka perempuan dan anaklah yang rentan bersentuhan langsung dengan persoalan air bersih ini.
“Mulai dari menyiapkan kebutuhan konsumsi dapur, cuci, mandi dan jadwal bulanan perempuan, sangat tergantung dengan air. Termasuk mengurus anak-anak mereka dalam masa pertumbuhan. Intinya air cukup penting untuk perempuan dalam kebutuhan konsumsi domestik maupun kesehatan reproduksi,” cetusnya.
Hadir dalam diskusi tersebut Kepala Departemen dan Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulsel, Muhammad Al Amin, Nur Asiah, dari Solidaritas Perempuan (SP) Anging Mammiri, dan perwakilan dari Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kota Makassar selaku narasumber.(*)
Komentar