MAKASSAR – Ketua Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Sulawesi Selatan Hidayat Nahwi Rasul mengemukakan, polemik bangsa yang terjadi belakangan ini disebabkan tiga faktor. Pertama, ekonomi yang bertumpu pada neoliberalisme yang mengakibatkan kesenjangan sosial. Indikatornya adalah rasio gini sudah mencapai 0,47.
“Jarak antara kaya dan miskin semakin lebar, sehingga kita bersoal pada keadilan sosial,” kata Hidayat Nahwi Rasul disela-sela audiensi Pengurus LDII Sulawesi Selatan dengan Pangdam, Mayjen TNI Agus SB di Markas Kodam VII Wirabuana Jalan Urip Sumoharjo, Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (20/2/2017).
Dalam pertemuan tersebut, Ketua LDII Sulawesi Selatan Hidayat Nahwi Rasul didampingi sekretaris Asdar Mattiro, Wakil Ketua Suyitno Widodo, Abri, Sanusi Fattah, Muchtar Mannan, wakil sekretaris Ilmaddin Husain, dan Biro Media Mujahidin. Sementara Pangdam VII Wirabuana Mayjen TNI Agus Surya Bakti didampingi Staf Ahli Pangdam Bidang Ideologi Kol Inf Sutikno Sulaiman, Wakapendam Letkol Inf Maksun Anafik, Pabandya Komsos Mayor Arm Fajar Catur Prasetyo, dan Kasmin Pangdam Mayor Inf Rustam Effendi.
Baca Juga :
Kata Hidayat, akibat keadilan sosial dan keadilan ekonomi tidak terwujud, maka muncullah berbagai persoalan bangsa. Padahal, keadilan sosial merupakan ideologi bangsa ini. Itu terbukti bahwa keadilan sosial disebut sampai dua kali dalam Pancasila. Kemanusian yang adil dan beradab dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, harus ada upaya membuka keadilan sosial sehingga masyarakat Indonesia betul-betul dapat merasakannya. Sebab semakin lebarnya kesenjangan sosial, maka semakin rawan munculnya konflik. Bukan hanya konflik masa kini, tetapi konflik masa lalu bisa kembali muncul.
Ihwal neoliberalisme, kata Hidayat, pemerintah perlu mendorong ekonomi syariah. Menurutnya, ekonomi syariah menjadi solusi untuk mereduksi pengaruh ekonomi kapitalistik yang banyak menyisakan kesenjangan sosial.
Faktor kedua penyebab kegaduhan di tengah masyarakat, menurut Hidayat, ialah proses demokrasi yang transaksional. ”Demokrasi kita berdasar transaksi dan uang, sehingga proses demokrasi tidak bisa melahirkan negarawan. Akibatnya, kita kehilangan kedaulatan negara,” ungkap Hidayat.
[NEXT]
Sebab proses demokrasi didukung pemilik modal, maka tokoh-tokoh politik yang terpilih menjadi pemimpin akan kehilangan kedaulatan dalam bertugas sebagai pejabat publik.
“Yang ada adalah kepentingan bandar. Yang terjadi pemerintah bayangan,” ujarnya.
Menurut Hidayat, negarawan adalah orang tidak tidak mementingkan kepentingan pribadi, melainkan hanya memikirkan rakyatnya. Kalau semua pemimpin yang lahir berdasarkan uang dan money politik, maka kebijakan untuk menyejahterakan masyarakat tidak akan tercapai.
Untuk mencegah politik transaksional, dengan jalan memperkuat pendidikan politik yang berbasis kerakyatan. Institusi demokrasi harus mendorong partisipasi dan transparansi agar terpilih negarawan yang bisa membawa bangsa ini mencapai cita-citanya, terutama keadilan sosial.
Fenomena ketiga yang muncul, tambah Hidayat, adalah lemahnya etika dalam berkomunikasi di media sosial. Akibatnya, muncullah hoax dan kegaduhan. Jika ratusan juta rakyat Indonesia tidak bisa berpikir sehat, maka internet dan media sosial tidak berfungsi sebagai pencerah, melainkan mereduksi modal sosial kita.
“Untuk mengatasi hoax, haruslah bijak bermedia sosial. Caranya, lanjut Hidayat, dengan membuat protokol media sosial yang islami. “Jangan share berita bohong. Jika menyebar kebohongan, maka kita mendapat jariah dosa kebohongan,” ujar Ketua Forum Telematika KTI ini.
Pihaknya mengemukakan, LDII sebagai salah satu ormas mendorong persatuan dan kesatuan. LDII menjaga norma-norma sosial budaya, etika, dan nilai agama. LDII diharap terus berkontribusi untuk mewujudkan cita-cita negara kita dan bangsa ini.
[NEXT]
Di tempat yang sama, Pangdam VII Wirabuana Mayjen TNI Agus Surya Bakti mengingatkan, upaya pihak tertentu yang ingin menguasai Indonesia. Sehubungan dengan hal tersebut, ormas sepatutnya ikut berkontribusi dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
“Saat ini, eranya perang energi, pangan dan air. Bangsa ini ingin dikuasai. Ada upaya pendudukan terhadap Indonesia oleh tangan-tangan tidak terlihat atau invisible hand,” kata Mayjen Agus.
Dahulu, kata Mayjen Agus, sebelum adanya teknologi digital, keluarga berperan dalam mengajarkan budi pekerti. “Sekarang orang tua sibuk. Anak kecil sudah memegang handphone. Ini menjadi tantangan bagi para dai.
Upaya penguasaan terhadap Indonesia, kata Pangdam, diantaranya melalui teknologi informasi. Masyarakat takjub pada sesuatu yang baru. Anak-anak tidak mau lagi belajar mengaji atau belajar di rumah, tetapi bermedia sosial.
Mayjen Agus berharap, LDII dapat bekerjasama dengan elemen yang memiliki kecintaan terhadap NKRI. Dikatakannya, LDII sebagai masyarakat intelektual dalam dakwahnya merangkul pihak yang satu misi. Kita berhadapan dengan mereka yang keluar dari pakem kebersamaan dan toleransi.
“Saya ucapkan terima kasih selama ini LDII sudah bekerjasama dengan Kodam VII Wirabuana. Di tahun 2017 ini, kita jalin kerjasama. Saya ajak LDII menjadi kontributor website bela negara Kodam VII Wirabuana. Mari penuhi dunia maya dengan konten positif dan nasionalisme,” ujar Mayjen TNI Agus SB. (*)
Komentar