PUTUSAN Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 24/Pid/Pra/2018/PN.Jkt. Sel. pada 9 April 2018 mengejutkan banyak pihak karena memutuskan memerintahkan KPK selaku termohon untuk melakukan proses hukum atas dugaan tindak pidana korupsi Bank Century dalam bentuk melakukan penyidikan dan menetapkan tersangka Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede dan kawan-kawan.
Dalam putusan itu pula menegaskan bahwa jika KPK tidak dapat melanjutkan kasus Bank Century agar melimpahkannya kepada Kepolisian dan atau Kejaksaan untuk dilanjutkan dengan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Sesuai Pasal 80 KUHAP dan Putusan MK No. 76/PUU-X/2012 Jo. Putusan MK No. 98/PUU-X/2012, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) sebagai pemohon Praperadilan memiliki kedudukan hukum (legal standing) kuat sebagai pihak ketiga yang berkepentingan sebagai organisasi yang bergerak membantu pemerintah dalam pencegahan pemberantasan KKN termasuk keberlanjutan penyidikan kasus Bank Century.
Baca Juga :
Dalam kasus Bank Century (sekarang Bank Mutiara) pada 2008 ada dua poros utama cara pandang yakni, pertama, bahwa kebijakan pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) kepada Bank Century adalah tindakan yang harus diambil untuk menyelamatkan kondisi ekonomi Indonesia sehingga Dewan Gubernur Bank Indonesia dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) berdasarkan Perppu No. 2 Tahun 2008 dalam keadaan kegentingan yang memaksa berwenang memberikan kredit atau pembiayaan untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek kepada bank bermasalah.
Kedua, Permasalahan Bank Century tidak layak diberikan FPJP sesuai ketentuan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/26/PBI/2008 harus memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) atau Capital Adequacy Ratio/CAR sebesar 8 persen sementara Bank Century hanya memiliki rasio CAR 2,35 persen sehingga dinilai perbuatan melanggar hukum termasuk penetapannya sebagai bank gagal berdampak sistemik serta keadaan ekonomi nasional masih stabil dan terkendali.
Kasus Bank Century telah menempatkan Budi Mulya (BM) mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Pengelolaan Moneter, Devisa dan Kantor Perwakilan (KPw) sebagai terpidana dengan hukuman pidana penjara selama 15 tahun, denda Rp 1 Milyar dan kurungan selama 8 bulan jika denda tidak dibayarkan. Vonis tersebut tertuang dalam putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) nomor 861 K/Pid.Sus/2015 tanggal 8 April 2015 dan sudah berkekuatan hukum tetap atau Inkrach.
Kontroversi
Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan di ranah publik memantik kembali perdebatan setelah hampir 4 tahun terkubur ditangan KPK sejak putusan pengadilan tipikor Jakarta Pusat pada 16 Juli 2014 vonis terpidana BM dibacakan.
Membaca secara lengkap putusan praperadilan Jakarta Selatan setebal 78 halaman yang ditangani hakim tunggal Effendi Mukhtar sejatinya tidak ada yang aneh dan biasa saja dengan memerhatikan posita dan petitum pemohon, eksepsi/jawaban termohon, bukti dan fakta persidangan, pertimbangan hakim hingga putusan.
Saya berpandangan bahwa putusan praperadilan hanya memperkuat dan menegaskan kembali putusan pengadilan tipikor Jakarta Pusat dalam perkara nomor 21/Pid.Sus/TPK/2014/PN. Jkt. Pst Jo. Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 67/PID/TPK/2014/PT. DKI, Jo. Putusan Kasasi Mahkamah Agung No. 861 K/Pid.Sus/2015 agar Boediono dkk dilanjutkan penyidikannya.
Frasa “secara bersama-sama” dalam putusan diatas sesuai dengan surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK No. Dak-07/24/02/2014 yang dibacakan pada 6 Maret 2014 menyebut nama Boediono, Miranda S. Goeltom, Siti Chalimah Fadjriah, S. Budi Rochadi, Muliaman D. Hadad, Hartadi Agus Sarwono dan Ardhayadi Mitroatmodjo dan Raden Pardede masing-masing sebagai Gubernur BI, Deputy Senior BI, Deputy Gubernur BI dan sekretaris KSSK.
Soal tuduhan putusan praperadilan yang dinilai ultra petita (melebihi apa yang dimohonkan/dituntut) tidak tepat karena pemohon telah memohonkan agar perkara Bank Century dilanjutkan penyidikannya terhadap terduga lainnya dalam kasus Bank Centery agar keadilan dan kepastian hukum pemberantasan korupsi dapat terwujud.
Akibat “penghentian penyidikan” tersebut walaupun KPK tidak mengakuinya menyebabkan kasus dimaksud menggantung bertahun-tahun tanpa kejelasan. Hal berbeda dengan kasus KTP-Elektronik yang pelakunya lebih dari satu orang dan dilakukan secara bersama-sama pula serta telah menetapkan 7 orang tersangka dan 3 diantaranya sudah inkrach.
Posisi Boediono dan Bukti
Sesuai putusan kasasi MA No. 861 K/Pid.Sus/2015 tanggal 8 April 2015 secara tegas menyatakan bahwa terdakwa Budi Mulya telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan sebagai perbuatan berlanjut.
Dengan kata lain, yang dapat dimintai pertanggung jawaban hukum dalam kasus Bank Century yang diduga merugikan keuangan negara dengan total Rp 8,012 Triliun bukan hanya Budi Mulya tetapi juga Boediono dkk. yang diduga melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 20 Tahun 2001 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Putusan kasasi MA diatas sejalan dengan temuan Pansus Hak Angket Bank Century DPR RI yang memilih Opsi C yakni kebijakan FPJP dan bailout diduga bermasalah baik dari aspek kebijakan maupun dalam teknis pelaksanaannya dengan mengubah PBI No. 10/26/PBI/2008 menjadi PBI No. 10/30/PBI/2008 agar Bank Century dapat memperoleh FPJP.
Selain itu, adanya pemberian data tidak benar dan tidak valid terkait Bank Century sebagai dasar KSSK menentukan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik dan menyerahkan penanganannya kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Dalam dakwaan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP ada tiga kualifikasi pelaku penyertaan (deelneming); mereka yang melakukan (mededader/subyek pelaku lebih dari satu orang dalam suatu tindak pidana) bukan dader (pelaku tunggal), menyuruh melakukan (mede plegen), dan yang turut serta melakukan perbuatan (mede pleger).
Pentingnya penyidikan KPK lebih lanjut sesuai bukti dan fakta persidangan bahwa ada rapat-rapat bersama penentuan pemberian FPJP dan sajian data untuk KSSK yang dinilai tidak valid sehingga perlu mengurai peran masing-masing pihak dalam suatu tindak pidana bailout Bank Cenruty.
Apakah secara bersama-sama itu dalam tindak kejahatan mempunyai kehendak dan merencanakan bersama-sama atau sebaliknya hanya seorang yang memiliki kehendak dan merencanakan kejahatan tetapi mempergunakan orang lain baik secara fisik maupun psikis melaksankan tindak kejahatan dimaksud. Dalam hal ini, peran Boediono dkk dalam jajaran Direksi Bank Indonesia akan jelas dan tidak menduga-duga.
Dalam soal bukti, KPK selalu berdalih belum menemukan dua alat bukti, padahal dalam persidangan terpidana Budi Mulya terdapat 1045 barang bukti yang dapat diklasifikasi, dikualifikasi dan direlevansikan dengan peran masing-masing terhadap suatu tindak kejahatan yang dilakukan secara bersama-sama.
Persoalannya hanya tinggal kemauan penyidik KPK, apakah serius menuntaskan kasus Bank Century atau mengabaikannya dengan cara menggantung kasus tersebut dengan dalih masih dalam penyidikan yang tanpa batasan waktu atau menunggu publik dijangkiti penyakit amnesia kolektif dan menguap begitu saja tanpa kepastian hukum. Atau apakah politik saling sandera para elit sedang berlangsung dan KPK menjadi operator? entahlah. (*)
Syamsuddin Radjab
Dosen Hukum Tata Negara UIN Alauddin Makassar
dan Direktur Eksekutif Jenggala Center
Komentar