MATARAM – Hasil dialog bersama nelayan di Hotel Lombok Plaza Mataram, Jumat, (28/7/2017) dengan tema “Potensi Pelanggaran HAM Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 01 Tahun 2015 dan Permen KP Nomor 56 Tahun 2016 Tentang Pelarangan Penangkapan Lobster, disimpulkan bahwa Penetapan Permen KP tersebut tanpa melalui kajian konprehensif dan matang secara akademik. Sehingga Permen ini dapat dibatalkan.
Alasan Permen KP dapat dibatalkan karena tidak satupun memiliki pertimbangan dasar sosial. Permen KP ini lebih kepada nafsu dendam terhadap banyak pesaing bisnis.
Kemudian, pada Sabtu, (29/7/2017), kami menuju Dusun Sepi, Desa Buwun Mas, Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat. Jarak dari Mataram sekitar 150-an kilometer. Kami tiba diterima oleh warga masyarakat di Kantor Desa Buwun Mas.
Baca Juga :
Pertemuan dialog sekitar satu jam lamanya. Nelayan Lobster sangat antusias mengikuti dialog. Tentu, semua nelayan menginginkan mereka sejahtera, tak ada yang ingin miskin. Dalam pertemuan dialog sangat dinamis dan nelayan banyak memberikan masukan dan saran agar Permen KP itu dapat dicabut.
Setelah dialog, kami menuju tempat penangkapan Lobster yang berada di sekitar Laut Dusun Buwun Mas. Melihat faktanya, ternyata alat tangkap Lobster sangat sempurna dan ramah lingkungan. Karena, alat tangkap lobster sendiri terdiri dari bahan karung semen, disusun kemudian diikat meyerupai sayap kupu-kupu.
Alat tangkap Lobster ini dinamakan “Pocong” yang sangat ramah lingkungan dan sangat tradisional. Metode penangkapan Lobster sendiri tidak seperti alat tangkap modern lainnya. Alat tangkap “Pocong” bersifat pasif dan dipasang pada suatu tempat dalam waktu beberapa hari di dalam laut.
[NEXT]
Sekarang, Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti melarang menangkap Lobster tanpa alasan dan dasar yang jelas. Menerbitkan Permen tanpa ada kajian secara komprehenshif. Akibat terbitnya Permen Nomor 01 tahun 2015 dan Permen Nomor 56 Tahun 2016 ini berdampak pada meningkatnya kemiskinan dan kriminalitas.
Buktinya, di Dusun Sepi Desa Buwun Mas Kecamatan Sekotong, seorang nelayan bernama Amaq Dani yang biasa di panggil Bogoh mengatakan, kalau selama ini menjadi rampok dan pencuri. Bogoh lalu mencoba mencari nafkah dengan jalan yang halal, ia kemudian beralih menjadi nelayan Lobster.
“Saya bisa menghidupkan sendiri keluarga dan anak istri. Tetapi, sekarang saya menganggur dan tak punya pendapatan. Apakah pemerintah mau pemuda-pemuda ini jadi perampok dan pencuri karena dilarang menangkap lobster?,” kesal Bogoh.
Setelah kami melihat dan berdialog serta mengunjungi sentra lobster nelayan, lalu kami berangkat ke Dusun Selong Belanak Lombok Tengah Selatan. Disana ketemu Sarjan, Kepala Dusun Selong Belanak. Kadus ini menuturkan bahwa Peraturan Menteri Susi Pudjiastuti sangat menyakitkan bagi rakyat Lombok. Dalam sejarahnya, masyarakat nelayan Lombok yang menemukan Lobster dan Kalauoun ditangkap secara manual tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
“Untuk merubah profesi nelayan Lobster, menteri Susi Pudjiastuti akan memberi bantuan untuk budidaya ikan lele dan ikan bawal. Sekarang kita bandingkan antara bantuan pemerintah dengan hasil penangkapan Lobster nelayan Lombok, tentu tidak sebanding dan kami sendiri nelayan Selong Belanak menolak bantuan Menteri Kelautan dan Perikanan,” tegas Sarjan.
Nelayan Selong Belanak sangat dirugikan dengan Permen yang diterbitkan oleh Menteri Susi Pudjiastuti. Nelayan juga sangat banyak ditangkap oleh polisi atas dasar Permen pelarangan itu.
[NEXT]
Seorang warga nelayan bernama Muslim (44 tahun), warga Dusun Selong Belanak pernah ditangkap dan dipenjara 1,5 tahun. Diungkapkan Muslim bahwa pemerintah, KKP dan Kepolisian tidak mau tahu-menahu apa yang dialami oleh nelayan.
“Padahal, kami menangkap Lobster bukan barang terlarang seperti narkoba, bukan juga yang diharamkan oleh agama. Kami sebagai nelayan Lobster ditangkap saat membawa Lobster untuk dijual dan kami ingin pendapatan kami naik yang sebelumnya tidak pernah ada kenaikan pendapatan,” kata Muslim.
Di Selong Belanak Lombok Tengah kami juga tidak lama berdialog, kemudian berangkat ke Desa Gerufuk Pesisir selatan. Tampak perumahan penduduk masih sederhana, mulai ada terbuat dari jerami, kayu hingga rumah batu yang dibangun masyarakat.
Saya menyaksikan dan bertanya langsung pada istri korban penangkapan nelayan oleh polisi, seorang berinisial Amaq Bikan (50 tahun). Ia ditangkap oleh polisi di rumahnya. Penangkapan itu tanpa ada surat apapun sama sekali. Tentu keluarga merasa bingung mengapa ditangkap. Ternyata alasan ditangkap hanya karena menjual dan membeli Lobster.
Proses penangkapan inilah yang dilihat oleh Komnas HAM yang tidak menghargai hak asasi manusia warga negara. Begitu pula dalam proses persidangan, ada banyak hakim di Pengadilan yang mengabaikan hak-hak pendapat warga negara dalam suatu kasus.
Sebut saja Amaq Udin yang divonis penjara 2 tahun bahwa proses persidangan dan perjalanan kasusnya dilarang oleh polisi untuk didampingin oleh kuasa hukumnya atau untuk membantu proses hukum. Semua proses hukum sudah harus menerima dan tidak menolak. Luar biasa pelanggaran HAM yang terjadi, hanya karena Peraturan Menteri KP. (*)
Komentar