LINTASTERKINI.COM – Fenomena budaya politik patron klien tentu bukanlah sesuatu yang asing dalam perspektif politik kita, sebab kultur politik di Indonesia telah begitu kuat mengakar. Sehingga sangat berpengaruh terhadap suatu proses demokratisasi.
Pemilu langsung yang di mulai sejak tahun 2005 sebagian orang menganggap sebagai momentum terbesar yang di miliki oleh rakyat, karena proses politik ini berlangsung secara terbuka, langsung, bebas, jujur dan adil. Walau dalam perjalanannya tidaklah sesuai dengan agenda-agenda reformasi politik.
Hal ini tentunya karena budaya patron klien dimana kelompok atau individu punya ketergantungan secara politik kepada ornament atau tokoh tertentu, sehingga sangat bersifat feodalistik.
Baca Juga :
Pemilu Legislatif tanggal 9 April 2014 telah diadakan, yang berarti menyisakan Pemliu Presiden bulan Juli dan September. Kedua pemilihan akan menentukan arah kebijakan yang diterapkan di Indonesia.
Siapapun yang terpilih pasti memiliki visi dan misi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, mulai dari pembangunan insfrastruktur, perbaikan tingkat pendidikan, mengurangi tingkat kemiskinan, dan lain-lain.
Namun dengan melihat apa yang telah terjadi sebelumnya, indikator keberhasilan visi dan misi tersebut masih belum memuaskan dan tidak merata di Indonesia.
Desentralisasi yang muncul sebagai hasil dari tuntutan masyakarat yang memprotes kebijakan sentralistik era Orde Baru membuat daerah-daerah yang sekarang memiliki otonomi pemerintahan sendiri. Dengan adanya otonomi, pemerintah daerah memiliki hak untuk membuat kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan daerahnya masing-masing.
Mungkin sekilas kebijakan ini baik karena pemerintahan daerah bukan lagi perpanjangan tangan dari kepentingan pemerintahan pusat (melaksanakan kepentingan yang dibuat oleh pemerintahan pusat di daerahnya). Namun, otonomi daerah ini menimbulkan permasalahan pada penyalahgunaan kekuasaan apabila berjalan tanpa pengawasan yang ketat.
Kasus yang muncul akibat gelombang desentralisasi ini adanya hubungan patron-klien yang berada di daerah-daerah. James C. Scoot mengatakan, hubungan patron klien melibatkan persahabatan instrumental dimana seorang individu dengan status sosio-ekonomi yang lebih tinggi (patron) mempergunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk menyediakan perlindungan dan/atau keuntungan-keuntungan bagi seseorang dengan status yang lebih rendah (klien).
Pada gilirannya, klien membalasnya dengan menawarkan dukungan umum dan bantuan termasuk jasa pribadi kepada patron. (Scoot, 1993:7-8). Singkatnya, patron-klien adalah hubungan yang saling menguntungkan antara patron (pemerintah, partai, pejabat, dan lain-lain) dengan Kliennya (pihak yang menguntungkan seperti pengusaha).
Misalnya ada seorang calon legislatif (patron) di suatu daerah yang dibantu secara material oleh seorang pengusaha (Klien) dalam keberhasilan kampanyenya sehingga calon tersebut menang. Jadi, pada saat si patron sudah menduduki jabatan, ia berusaha untuk membalas dengan membuat kebijakan yang menguntungkan kliennya (ambil saja contoh Pengusaha A (klien) tersebut adalah pengusaha yang bergerak di bidang perumahan, maka si patron ini menyediakan kebijakan baru dalam membangun perumahan di daerah tersebut dengan pihak Pengusaha A yang memenangkan tender pembangunannya).
Kita dapat mengakui kalau hal tersebut sudah terjadi, mungkin dengan melihat kasus politik dinasti yang ada di Banten. Struktur yang telah tercipta seperti ini yang nantinya akan mengganggu arah pembangunan di Indonesia. Patron-klien ini dapat mengganggu arah kebijakan yang mana dengan adanya otonomi seharusnya aspirasi rakyat daerah dapat ditampung dalam pembuatan kebijakan. selain itu,
Patron-klien juga dapat menghalangi imbauan kebijakan pembangunan yang berasal dari pemerintahan pusat. Apabila ingin menyukseskan arah kebijakan pembangunan, sudah sepantasnya hubungan ini dihindari atau arah kebijakan pembangunan untuk mensejahterakan rakyat belum dapat berhasil terlepas dari siapa yang nanti memenangkan Pemilu.
Budaya patron klien ini adalah salah satu jalan membuka politik oligharkhis yaitu kepentingan bisnis menjadi dominan dalam kepentingan politik. Fakta-fakta politik patron klien dapat dilihat bukan hanya dip roses politik di Pilkada baik itu Pilkada di tingkat Gubernur, walikota maupun bupati, itu pun juga sampai kepada proses politik Pemilhan presiden, legislative baik di daerah maupun pusat.
Dan secara kasat mata dengan pendekatan sosiologi politik budaya transaksional semakin muncul dipermukaan dengan melibatkan banyak pengusaha yang terlibat dalam tender proyek, sehingga sangat sulit memutus mata rantai “KOLUSI” antara penguasa dengan pengusaha.
Menurut penulis ini sangat membahayakan sistem demokrasi dan politik untuk menemukan konsep ideal bagi keberlangsungan pemerintahan. Tentu patron klien ini dibutuhkan tetapi tidak harus menjadi sesuatu yang mutlak dalam proses politik. Politik uang (money politic) kelihatannya sulit dicegah sebab disamping budaya politik transaksional masyarakat sangat terbuka terhadap pemberian dari kelompok tertentu.
Sehingga demokrasi pada akhirnya terluka karena tidak lagi mencerminkan nilai-nilai etika dan politik secara humanis dalam kerangka Negara kesatuan Republik Indonesia..(*)
Komentar