MAKASSAR — Memasuki pekan ketujuh persidangan kasus dugaan suap proyek infrastruktur yang menyeret Gubernur Sulsel non aktif, Nurdin Abdullah (NA), tak satupun keterangan saksi yang menguatkan posisi terdakwa NA, pernah menerima suap, seperti yang disebut dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Fakta tersebut kembali mencuat kala sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Makassar, Kamis, 2 September 2021. Husain, sopir pribadi NA, malah dengan tegas menyatakan, kalau mantan Bupati Bantaeng dua periode itu, tak sekalipun pernah menerima suap, baik uang maupun barang dari pihak ketiga.
“Selama 15 tahun saya bekerja sama Pak NA, dia (NA) tak pernah menerima sesuatu dari orang ketiga. Baik uang maupun barang,” tegas Husain, menjawab pertanyaan Penasihat Hukum NA seputar keterangan saksi seperti tertuang dalam BAP Nomor 10 dan 11.
Baca Juga :
“Keterangan saya di BAP itu, benar semua pak,” jawabnya.
Selain Husain, JPU KPK juga menghadirkan saksi lainnya, Hikmawati (Istri Edy Rahmat). Dihadapan Hakim Ketua, Ibrahim Palino, Hikmawati mengaku, kalau ia sama sekali tak tahu asal usul uang yang sempat dia amankan di rumah keluarganya di Kabupaten Gowa. Itu sehari sebelum peristiwa Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK.
Uang dalam ransel dan plastik yang di sita KPK itu, dititipkan suaminya (Edy Rahmat) yang jumlahnya terdiri dari lima ikat, dimana satu ikatnya berjumlah seratus juta agar diamankan di Gowa.
“Saat saya diperiksa KPK, uang itu saya serahkan di rumah jabatan Sekdis PUPR Sulsel,” katanya.
Soal pekerjaan suaminya (Edy Rahmat) Hikmawati mengaku, jarang berdiskusi. Sejak suaminya tugas di Bantaeng sampai pindah ke Pemprov Sulsel.
“Dia (Edy Rahmat) hanya bilang, kalau saya jelaskan kau tidak bakalan mengerti juga,” ungkapnya.
Sidang pekan ketujuh yang digelar di Pengadilan Negeri Makassar, siang tadi, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) rencananya menghadirkan lima saksi.
Selain Husain dan Hikmawati, juga dijadwalkan menghadiri persidangan yakni Irfandi (Sopir Edy Rahmat), Nuryadi (Sopir Agung Sucipto) dan Mega Putra Pratama. Hanya saja, ketiga saksi ini tidak hadir.
Menanggapi sidang tersebut, penasehat hukum NA, Irwan Irawan yang ditemui usai sidang menyatakan, bahwa sejauh ini, belum ada satupun keterangan saksi yang menegaskan keterkaitan NA dalam kasus tersebut.
“Tidak satupun kesaksian kalau pemberian dana itu untuk pak Nurdin,” tegasnya.
Uang yang mengalir dari pihak ketiga itu, ungkap Irwan, semata-mata hanya permintaan sepihak Edy Rahmat ke kontraktor dengan mencatut nama NA.
“Sebelumnya, Edy Rahmat mengaku, sama sekali tidak pernah melakukan komunikasi lagi dengan NA. Edy hanya intens berkomunikasi dengan Agung untuk menyampaikan permintaan bantuan relawan. Itu ada dalam BAP,” kata Irwan.
Diungkapnya isi BAP dimaksud, bebernya, hingga Kamis, 25 Februari 2020, Agung berkomunikasi dengan Edy via telepon. Keduanya janjian ketemu di salah satu cafe di Kota Makassar.
Di pertemuan tersebut, Agung menyatakan dananya baru siap keesokannya sebesar Rp2,5 miliar.
Rinciannya, Rp1,4 miliar dari Agung dan Rp1,50 miliar lagi dari Heri Syamsuddin. Dana tersebut, sebut Edy dalam BAP nya, untuk usulan proposal proyek irigasi di Kabupaten Sinjai. Tujuannya, agar proposal diserahkan ke Pemprov Sulsel agar dimenangkan di lelang proyek.
Namun sekali lagi, dalam keterangannya di BAP tersebut, Edy mengaku tak satupun percakapannya
dengan NA terkait proyek irigasi dimaksud. Baik urusan memenangkan proyek maupun uang sebesar Rp2,5 miliar yang diterimanya dari kontraktor tersebut yang tak pernah disampaikan kepada NA.
Menurut Irwan, Edy telah melampaui kewenangan sebagai Sekdis PUTR Sulsel dengan berani mencatut nama Gubernur Sulsel, NA untuk meminta dana dari sejumlah kontraktor.
“Itupun dana yang diterima Edy dari Agung Sucipto Rp1,4 miliar, ucapan terima kasih karena proyek sudah selesai. Dan Rp1,05 miliyar lagi dari Herry itu juga utang. Nah, urusan itu, dimana kaitannya dengan NA. Kan tidak ada,” ketusnya. (*)
Komentar