JAKARTA–Aturan hukum berdasarkan Kitap Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa seorang pekerja seks tidak bisa dilakukan pemidanaan.
Hal itu diutarakan Pengamat hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar dengan menyikapi kasus penggerebekan salah seorang prostitusi NN (26) yang dilakukan oleh pihak Kepolisian Daerah (Polda) Sumbar bersama anggota DPR RI Andre Rosiade di salah satu hotel berbintang di Kota Padang, Sumatera Barat beberapa waktu lalu.
Fickar menjelaskan, dalam KUHP sebenarnya yang bisa dijerat kepada proses pidana hanyalah mucikari dari pekerja seks tersebut bukan pekerja seksnya.
Baca Juga :
“Untuk sang wanita yang berprofesi sebagai pekerja seks, itu tidak bisa diproses pidana berdasar KUHP, karena yang dalam KUHP yang kena hanya muncikari,” tegas Abdul Fickar, dikutip CNNIndonesia, Jumat (07/02/2020).
Meski demikian, dia juga menyebut bahwa hal ini akan berbeda bilamana pekerja seks tersebut aktif menggunakan media elektronik dalam menjalankan profesinya. Ia menyebut masih ada pasal 27 ayat (1) UU ITE yang bisa digunakan menjerat tindakan prostitusi. Dalam artian, kata Fickar, terdapat komunikasi antara pekerja seks dengan mucikari, yang mana dalam komunikasi tersebut pekerja seks meminta kepada mucikari untuk mencari pengguna seks.
“Disatu sisi juga jika wanitanya maen online nyebutin ukuran dan lain-lain. Maka ia masuk ke pasal kesusilaan, karena ada chatingannya kepada muncikari supaya dipasarkan, maka ketika muncikarinya dijerat pasal 21 ayat 1 UU ITE mentransmisikan muatan yang berisi kesusilaan, maka wanita tersebut dapat dijerat pasal 55 KUHP sebagai peserta dalam pelanggaran UU ITE itu,” jelasnya.
Sementara itu, terkait pengguna jasa prostitusi apakah bisa dijerat pidana yang serupa atau tidak, kata Fickar, sampai saat ini tidak ada aturan yang bisa dikenakan kepada pengguna. Fickar menyebut bahwa pengguna jasa hanya bisa disasar melalui Peraturan Daerah (Perda).
“Terkait pengguna jasa itu, juga tidak terjangkau oleh KUHP, olehnya itu agak sulit mencari ketentuan untuk menjeratnya, kecuali ada Peraturan Pemerintah Daerah yang mengatur dan melakukan razia yang konteksnya ketertiban umum dijalan karena itu pekerja seks disejajarkan dengan gelandangan dan pengemis,” terangnya
Fickar juga menjelaskan terkait terlibatnya salah seorang Anggota DPR RI Andre Rosaide dalam aksi penggerebakan di sebuah kamar hotel yang belum lama ini, Fickar menilai itu kurang tepat.
Fickar menjelaskan bahwa apabila ada kesengajaan dari Andre untuk melakukan penjebakan sebelum penggerebakan dilakukan, maka hal tersebut bisa dilaporkan ke Dewan Kehormatan DPR sebagai institusi yang dapat memproses persoalan etika anggota legislatif.
Menurutnya, setelah Andre menerima aspirasi dari konstituennya, seharusnya masalah itu diserahkan kepada pihak penegak hukum untuk melakukan upaya hukum.
“Andre Rosaide sebagai anggota DPR dia telah melakukan tugasnya menerima aspirasi dari konstituennya, hanya saja seharusnya setelah itu dia menyerahkannya kepada polisi sebagai penegak hukum,”
“Jika dia melakukan penjebakan, maka jika ada yang keberatan bisa melaporkannya ke Dewan Kehormatan DPR agar tindakan andre diproses dari segi etikanya,” tuturnya juga.
Meski demikian ia menegaskan bahwa semua proses yang dilakukan polisi dalam penegakan hukum tersebut tetaplah sah secara hukum.
“Ya, sah saja karena inikan OTT,” tegasnya mengakhiri.
Diberitakan sebelumnya, Polda Sumatera Barat menggerebek praktik prostitusi online di salah satu hotel berbintang di Kota Padang, Minggu (26/01/2020) lalu.
Dalam penggerebekan itu, polisi mengamankan AS (24) yang diduga sebagai muncikari dan seorang wanita berinisial N (27) sebagai pekerja seks komersial (PSK)
Peristiwa penggerebekan itu setelah aparat kepolisian mendapat laporan dari anggota DPR RI Andre Rosiade terkait adanya praktik prostitusi online di salah satu hotel berbintang di Padang.
Setelah mendapatkan laporan itu, Polda Sumbar menurunkan tim siber Direktorat Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) yang dikomandoi Panit II Unit V Ditreskrimsus AKP Indra Sonedi.(*)
Komentar