MAKASSAR – Inilah kisah seorang warga Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), bernama Nur Fajri, satu dari 26 WNI yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus dipekerjakan sebagai customer service di perusahaan digital di Myanmar.
Korban mendapat pekerjaan usai mendaftar di link yang diperoleh di media sosial (medsos). Dari penuturannya, ia sempat disekap, disiksa, serta pihak keluarga dimintai uang ratusan juta rupiah sebagai tebusan. Beruntung, Nur Fajri bisa pulang ke kampung halamannya berkat negosiasi dengan Pemerintah Indonesia.
Ditemui di Jalan AP Pettarani, Nur Fajri menuturkan menjadi korban perdagangan orang setelah tergiur bekerja di luar negeri, Ia diiming-imingi gaji tinggi.
Baca Juga :
Korban diketahui terjebak setelah melihat sebuah link lowongan kerja yang di-upload di sebuah akun di media sosial Facebook. Korban tak menaruh curiga meski seluruh biaya perjalanan hingga tiba di asrama ditanggung lewat orang yang tak dikenal.
“Awalnya, saya dapat informasi dari Facebook dengan agen bernama Ariana. Saya ditawari pekerjaan, ada tes komputer dan Bahasa Inggris. Saya dinyatakan lulus, dan ditanggung biaya pesawat sampai di Myanmar, tetapi belum ketemu orangnya,” ungkapnya di Makassar, Jumat (6/10/2023).
Setelah sampai di lokasi, korban mulai curiga lantaran lokasi awal tidak sesuai yang dijanjikan. Nur dibawa masuk ke dalam perusahaan dengan dijaga sekelompok orang bersenjata. Saat tiba di asrama, korban mulai diperkenalkan dengan lingkungan kerja. Selama kurang lebih 5 bulan, korban dipaksa melakukan kejahatan siber lewat media sosial lintas negara. Lantaran hasil tak memuaskan, korban disekap selama 1 minggu dan disiksa sejumlah orang bersenjata hingga luka robek di kening. Selain itu, bagian dahi banyak luka lebam akibat pukulan.
“Saya tidak tahu di mana, langsung masuk ke asrama-asrama dan banyak orang Tiongkok di situ, sepertinya base camp layaknya mafia. Ruangan sudah ditempatkan dan saya diberikan komputer, saya mulai curiga karena tugas saya costumer service, tetapi malah jadi scammer,” tuturnya.
Tak hanya itu, pelaku juga meminta tebusan ke keluarga sebesar Rp 105 juta. Orang tua korban panik dan sempat mengirimkan uang Rp 30 juta dengan ditransfer.
“Saya di sana selama 5 bulan, dan sempat disekap 1 minggu di lantai tiga. Waktu itu, ada orang bernama Liu Jin (pelaku) panggil saya ke atas, lalu saya dipukuli 10 orang kemudian disekap, diikat. Selama saya disekap, selalu dipukuli. Pelakunya minta tebusan Rp 105 juta, tetapi bapak saya hanya bisa bayar Rp 30 juta,” sambungnya.
Nur Fajri mengaku ada banyak korban dari berbagai negara yang terjebak dan dipaksa melakukan kejahatan siber lewat dunia maya. Mereka yang dianggap berprestasi selanjutnya dijual ke negara yang membutuhkan ahli teknologi informasi (TI).
Nur Fajri, bersyukur bisa pulang ke kediamannya. Kepulangan Fajri bermula ketika orang tuanya meminta bantuan dengan menyurati Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD. Kepulangan Nur Fajri beserta 26 WNI lainnya setelah melalui proses negosiasi dan koordinasi KBRI Yangon, KBRI Bangkok, dan tim Perlindungan Warga Negara Indonesia (PWNI) Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) yang saat itu berada di Bangkok. “Ada proses negosiasi antara Pak Mahfud dengan mereka lewat KBRI Thailand. Lolos saat itu ada 26 orang, warga Indonesia,” kata dia.(*)
Komentar