LINTASTERKINI.COM – Pengaturan pola makan atau diet rendah lemak ternyata tidak selamanya menguntungkan. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa diet rendah lemak atau tinggi karbohidrat dapat meningkatkan risiko kematian dini.
Kesimpulan ini diambil berdasarkan penelitian yang dilakukan kepada lebih dari 135 ribu orang dari 18 negara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa diet tinggi lemak yang terdiri dari lemak jenuh dan tak jenuh, berkaitan dengan risiko kematian yang lebih rendah, sekitar 23 persen.
Di sisi lain, tim peneliti juga menemukan bahwa diet tinggi karbohidrat patut dihindari. Alasannya, diet tinggi karbohidrat berkaitan dengan risiko kematian dini yang lebih tinggi hingga 28 persen.
Baca Juga :
Tim peneliti juga menemukan bahwa komposisi asupan karbohidrat dan lemak yang didapatkan para peserta cenderung tidak seimbang. Mereka umumnya mendapatkan 60 persen energi dari karbohidrat dan 24 persen energi dari lemak.
Asupan karbohidrat yang lebih tinggi bahkan ditemukan di negara-negara berpendapatan rendah dan sedang. Mereka umumnya meraih 65 persen energi mereka dari karbohidrat.
“(Di negara-negara tersebut) Pedoman seharusnya memfokuskan kembali perhatian mereka terhadap penurunan asupan karbohidrat daripada berfokus pada penurunan lemak,” jelas Dr Mahshid Dehghan dari McMaster University, seperti dilansir dari NetDoctor, Minggu, (3/9/2017).
Meski dapat meningkatkan risiko kematian dini, karbohidrat maupun lemak tidak boleh disingkirkan dari pola makan. Keduanya merupakan asupan gizi yang sangat penting dan dibutuhkan tubuh.
Yang perlu dilakukan untuk menjauhi risiko kematian dini hanyalah memastikan agar karbohidrat dan juga lemak tidak dikonsumsi berlebihan. “Karbohidrat dalam jumlah tertentu diperlukan untuk memenuhi kebutuhan energi selama beraktivitas fisik,” kata Dehghan.
Dengan mengatakan pola makan terbaik adalah pola makan yang disertai dengan komposisi asupan karbohidrat dan lemak yang seimbang. Asupan karbohidrat yang disarankan adalah sekiar 50-55 persen, sedangkan asupan lemak yang disarankan adalah 35 persen. “Termasuk lemak jenuh maupun tidak jenuh,” ujar Dehghan.
Dalam penelitian ini, Dehghan dan tim peneliti tidak mengikutsertakan penelitian terhadap lemak trans. Alasannya, lemak trans yang kerap ditemukan dalam makanan olahan sudah terbukti tidak sehat. *Sumber : republika.co.id)
Komentar